Fungsi lahan hijau adalah menjaga keseimbangan kadar O2-CO2 di alam. Setidaknya itu yang ibu ingat pelajari di pelajaran Biologi saat SMP. Namun keberadaannya saat ini terutama di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta adalah kurang seimbang. Kebutuhan akan bangunan sebagai tempat tinggal, kantor, sekolah bahkan mall membuat lahan tanah menjadi suatu yang langka kalaupun ada harganya mahal.
Salah satu konsep taman atau ruang hijau terbuka di ruang terbatas perkotaan saya temui di National Museum (Sains Museum) di Brussel, Belgia. Dibagian paling dalam di lantai dasar ada satu bagian dengan tata lampu hijau yang berisikan permainan komputer tentang permasalahan kota dan solusinya, balok-balok raksasa ilustrasi pepohonan dan isinya serta konsep bercocok tanam di lingkungan minim pertanahan.
Salah satu konsep taman atau ruang hijau terbuka di ruang terbatas perkotaan saya temui di National Museum (Sains Museum) di Brussel, Belgia. Dibagian paling dalam di lantai dasar ada satu bagian dengan tata lampu hijau yang berisikan permainan komputer tentang permasalahan kota dan solusinya, balok-balok raksasa ilustrasi pepohonan dan isinya serta konsep bercocok tanam di lingkungan minim pertanahan.
Semenjak pindah ke Aachen, ibu melihat pola penggunaan lahan yang berbeda antara masyarakat eropa dan asia (khususnya Indonesia) yang sesuai dengan konsep di atas.
Salah satunya adalah keterbutuhan lahan tanah adalah sebagai tempat tinggal. Sebut saja di Indonesia orang masih memilih untuk membeli rumah tanah sebagai alternatif hunian, meskipun harus tinggal di suburb. Apartemen atau flat merupakan pilihan hunian kedua yang harganya bisa malah lebih mahal terutama di pusat kota. Selain itu, secara nilai ekonomis pun apartemen menjadi lebih konsumtif karena biasanya dilengkapi dengan fasilitas gym atau kolam renang, playground, security dan parkir pribadi, sehingga umumnya ada biaya bulanan yang hitungannya lebih mahal daripada tinggal di kompleks perumahan biasa.
Sedangkan di Aachen ini, sebaliknya kebanyakan hunian adalah berupa rumah apartemen (wohnung) atau flat. Sebagai contoh rumah kami adalah bertingkat lima (plus lantai dasar) dengan masing-masing lantai terdiri dari 5 wohnung. Rumah tanah masih ada di pinggir kota, namun harganya sangat sangat mahal sehingga banyak pula yang hingga hari tuanya masih menyewa atau memiliki wohnung sebagai rumah hunian.
Salah satu hobi masyarakat Aachen adalah berkebun. Hobi yang sederhana bisa dilakukan di rumah. Sekalipun rumah tanpa taman tanah, hobi ini bisa dilakukan di teras atau dalam rumah.
Wohnung kami termasuk wohnnung yang berteras lumayan lebar. Penghuni terdahulu meletakan kolam untuk berendam 2 orang di teras tersebut. Sekarang, ibu meletakan jemuran baju (tipikal orang Indonesia banget hehehe) yang lebar dan kecil. Masih ada space yang lowong biasanya dipakai anak-anak main hotwhells dengan air di kala musim panas. Jika dibandingkan teras ibu dilihat dari bawah tampak kosong dan biasa. Lain halnya dengan teras tetangga di lantai 2 yang selalu penuh dengan bunga aneka warna sepanjang tahun kecuali winter. Bunga-bunga dan tanaman rambatnya digantungkan disisi pagar teras menghadap kedalam. Namun karena rimbunnya bisa menjulur indah sampai keluar pagar. Apabila meliihat dari bawah ke atas tampak asri mata memandang.
Banyak juga teras atau balkon (teras kecil) yang asri di sepanjang jalan mata memandang. Meski tak berbalkon, orang sini senang menaruh pot tanamannya di jendela di dalam rumah. Tanaman segar atau sekedar tanaman bunga yang dimasukkan di pot berisi air yang akan segar selama seminggu.
Saking hobinya dengan bercocok tanam, dimulai sejak usai musim dingin (winter), media (tanah), bibit (bunga, buah atau sayur) dan pupuk bisa didapat sangat mudah di aneka supermarket dan toko. Bebagai pot pun banyak dijual dengan label diskon.
Selain di teras, balkon atau di dalam rumah, ada lahan sewaan untuk bercocok tanam. Lahan ini terpisah dari rumah tinggal malah bisa jauh sama sekali. Lahan ini berukuran kurang lebih seperti halaman belakang rumah. Mereka membangun gubuk untuk gudang dan ruang istirahat dan selebihnya ditanami buah atau bunga. Di musim panas, terkadang mereka bisa mengadakan jamuan makan siang di taman-taman tadi sambil menikmati keindahan kebunnya.
Sayangnya keinginan hati ibu untuk berkebun beberapa kali ini belum membuahkan hasil, tanaman yang ibu beli dan tanam belum bisa hidup langgeng. Intinya perlu banyak belajar lagi berkebun...hehehehe
Salah satunya adalah keterbutuhan lahan tanah adalah sebagai tempat tinggal. Sebut saja di Indonesia orang masih memilih untuk membeli rumah tanah sebagai alternatif hunian, meskipun harus tinggal di suburb. Apartemen atau flat merupakan pilihan hunian kedua yang harganya bisa malah lebih mahal terutama di pusat kota. Selain itu, secara nilai ekonomis pun apartemen menjadi lebih konsumtif karena biasanya dilengkapi dengan fasilitas gym atau kolam renang, playground, security dan parkir pribadi, sehingga umumnya ada biaya bulanan yang hitungannya lebih mahal daripada tinggal di kompleks perumahan biasa.
Sedangkan di Aachen ini, sebaliknya kebanyakan hunian adalah berupa rumah apartemen (wohnung) atau flat. Sebagai contoh rumah kami adalah bertingkat lima (plus lantai dasar) dengan masing-masing lantai terdiri dari 5 wohnung. Rumah tanah masih ada di pinggir kota, namun harganya sangat sangat mahal sehingga banyak pula yang hingga hari tuanya masih menyewa atau memiliki wohnung sebagai rumah hunian.
Salah satu hobi masyarakat Aachen adalah berkebun. Hobi yang sederhana bisa dilakukan di rumah. Sekalipun rumah tanpa taman tanah, hobi ini bisa dilakukan di teras atau dalam rumah.
Wohnung kami termasuk wohnnung yang berteras lumayan lebar. Penghuni terdahulu meletakan kolam untuk berendam 2 orang di teras tersebut. Sekarang, ibu meletakan jemuran baju (tipikal orang Indonesia banget hehehe) yang lebar dan kecil. Masih ada space yang lowong biasanya dipakai anak-anak main hotwhells dengan air di kala musim panas. Jika dibandingkan teras ibu dilihat dari bawah tampak kosong dan biasa. Lain halnya dengan teras tetangga di lantai 2 yang selalu penuh dengan bunga aneka warna sepanjang tahun kecuali winter. Bunga-bunga dan tanaman rambatnya digantungkan disisi pagar teras menghadap kedalam. Namun karena rimbunnya bisa menjulur indah sampai keluar pagar. Apabila meliihat dari bawah ke atas tampak asri mata memandang.
Banyak juga teras atau balkon (teras kecil) yang asri di sepanjang jalan mata memandang. Meski tak berbalkon, orang sini senang menaruh pot tanamannya di jendela di dalam rumah. Tanaman segar atau sekedar tanaman bunga yang dimasukkan di pot berisi air yang akan segar selama seminggu.
Saking hobinya dengan bercocok tanam, dimulai sejak usai musim dingin (winter), media (tanah), bibit (bunga, buah atau sayur) dan pupuk bisa didapat sangat mudah di aneka supermarket dan toko. Bebagai pot pun banyak dijual dengan label diskon.
Selain di teras, balkon atau di dalam rumah, ada lahan sewaan untuk bercocok tanam. Lahan ini terpisah dari rumah tinggal malah bisa jauh sama sekali. Lahan ini berukuran kurang lebih seperti halaman belakang rumah. Mereka membangun gubuk untuk gudang dan ruang istirahat dan selebihnya ditanami buah atau bunga. Di musim panas, terkadang mereka bisa mengadakan jamuan makan siang di taman-taman tadi sambil menikmati keindahan kebunnya.
Sayangnya keinginan hati ibu untuk berkebun beberapa kali ini belum membuahkan hasil, tanaman yang ibu beli dan tanam belum bisa hidup langgeng. Intinya perlu banyak belajar lagi berkebun...hehehehe