Suatu hari saat Hito baru lahir dan harus bikin paspor ada satu ketentuan yang ibu anggap membetekan, yaitu bahwa kehadiran kedua orang tua saat interview itu wajib, terutama si Bapak. Nah, kalau Bapak ini tak bisa hadir maka harus menyertakan surat kuasa bahwa Ibu bisa mengambil segala keputusan berkaitan dengan anak ini sendiri. Waktu itu, terus terang tersinggung banget, "Gileee bener, sebagai ibunya ga dianggap gini!" Tapi toh, tetep aja karena butuh semua proses pun dilalui.
Belum lepas dari ingatan soal paspor, saat liburan summer kemarin, Ibu dan anak-anak terbang liburan ke Indonesia bertiga. Bapak nyusul karena masih kerja dan cuti yang terbatas. Eeee...pas mau ngecap keluar imigrasi Jerman, di kaunter duduk mba2 muda yang siap melayani kami. Kebeneran nih karena bervisa Jerman, maka kami masuk ke antrian cepat layaknya yang punya paspor Jerman. Sudah senang karena ga antri lama, taunya si mba nanya, "Terbang bertiga aja Bu? Bawa surat ijin dari suami ga?" Kontan dong ibu kaget...Wualahhh ga kepikiran de. Dalam hati bergumam, "Saya kan ibunya. Ga boleh ya bawa anak2 sendirian?" Akhirnya karena emang ga bawa, mbanya ga maksa sih, tapi pesan kalau lain kali pergi sendiri bikin surat kuasa gt.
Nah, kejadian ini terjadi lagi dong, sekarang! Saat hito mau masuk SD di Jerman. Sebagai kelengkapan proses administrasi akan ada interview singkat antara pihak sekolah dengan orang tua dan anak yang akan masuk tersebut.
Ssstt...bocoran interview masuk SDnya nih ya.. jangan dibayangkan interviewer bakal nanya, "4x6 berapa ya?" atau "Ada 1 jeruk di pohon dan 1 jeruk jatuh, berapa jumlah semua jeruk di pohon?" atau coba buka dan baca halaman 100 dari buku bla...bla...bla...Yang mereka ingin tahu adalah lebih kepada penelusuran minat pada anak, alasan memilih dan harapan yang diinginkan orang tua. Jadi bukan interview yang sulit...apalagi sudah ada surat pengantar dari Stat (kantor pemerintah) setempat bahwa Hito dianjurkan memilih diantara 3 SD yang ada di dekat rumah. Jadi kalau ada pilihan dari 3 tadi, InsyaAllah sih akan mudah masuknya.
Balik lagi dari intermezzo bocor...bocoran tadi...bukan Trikukuh namanya kalau perjalanan bakal mulus jaya...ternyata interview wajib dihadiri oleh kedua orang tua. Waktu interview pun dibuking seminggu sebelumnya. Hanya 6 hari jadwal interview dan Bapak ga bisa dikesemuanya karena sedang tugas keluar negeri...hush! (ngelap keringet di dahi)
Bisa sih ibu mewakili bapak, tapi seperti biasa bikin surat kuasa!
Dari pengalaman di atas kesimpulan mutlak...BAPAK PEMIMPIN RUMAH TANGGA!
Kenapa unik?
Karena jarang banget ditemui peran pria sekompleks mereka di budaya Indonesia, mungkin asia.
Perhatian Ibu terbagi antara peran mereka sebagai Suami dan Bapak.
Sebagai suami
Umumnya, bapak berkerja sebagai penopang keuangan keluarga (sama aja dimana2). Ibu, ada yang berprofesi ibu rumah tangga, pekerja part-time atau bekerja dari rumah. So far, karena kemungkinan pekerja part-time di Jerman terlihat besar peluangnya maka banyak juga ibu bisa memanage anak dan rumah namun punya aktifitas lain yang menghasilkan uang di luar rumah.
Tapi ada juga fenomena lain disini lho, dimana ibu bekerja di luar rumah, bahkan sebagai penopang keuangan keluarga dan bapak seorang partimer, masih student atau bahkan bisa mengganggur sehingga aktifitas bapak adalah seputar urusan domestik rumah dan anak, misalnya masak makan malam atau menemani anak ke Baby Class.
Sebagai bapak
Coba hitung berapa kali jaman bapak kita dulu mengambil raport kita di kelas? Seberapa sering para bapak terlihat membawa main anaknya ke mall tanpa Ibu disamping beliau? Kalau kita libur, pernah tidak para bapak dijaman kita dulu memasak dan ibu bisa leyeh2 di ruang tivi?
Jujur...Jaman Ibu dulu, urusan domestik rumah tangga dikuasai oleh Nenek, mulai dari dapur, rumah yang biasanya dibantu asisten rumah tangga dan urusan sekolah anak, mulai dari bertanya dan negosiasi dengan guru sampai tetek bengek lain. Makanya ga aneh kalau ibu akan identik dengan kuasa multitasking-nya karena memang urusannya banyak banget.
Sudah banyak kayanya cerita-cerita yang mengisyaratkan kalau pria mengambil alih tugas wanita sebagai istri dan ibu dijamin mereka ga akan tahan dan minta dijadikan pria kembali dalam waktu singkat. Sudah begitu, ada dukungan dari pemahaman orang-orang tua dahulu, "Pamali kalau lelaki masuk dapur!" (pamali=tabu).
Jujur lagi nih...karena dibesarkan dengan pola asuh tersebut, sedikit banyak pengaruh budaya itu pun ada di keluarga kami. Yaitu budaya mengotak-kotakan tugas dan peran ayah-ibu.
Nah, yang terjadi di kota kecil ini adalah sebaliknya. Terlihat bapak ini mengambil alih urusan anak (atau lebih tepat membantu dan bagi tugas) disaat diperlukan. Misalnya menemani anak ke dokter (di jam kerja), jemput anak dari sekolah TK trus ngajak main di taman, pulang sekolah jalan bareng ibu-ibu lain yang jemput anak juga dan ngobrol asik pake bahasa Jerman (english sih kalau ma Ibu Tia :D), menemani baby class seminggu sekali sambil nyanyi-nyanyi bareng ibu-ibu lain, datang ke meeting orangtua murib gantian sama ibunya, nemenin main bola anak pulang kerja sampai suka keintip dari jalan lagi masak di dapur buat makan malam dan lain sebagainya.
Well, memang tak dipungkiri ketiadaan helper/asisten dalam tangga pun memaksa kami pada akhirnya berlaku seperti mereka. Tidak sesempurna itu, namun paling tidak ketika ada di rumah sama-sama melakukan hal rumah tangga, bagi-bagi tugas lah hehehe. Karena tentunya terbatas energi multitasking ibu dan menyesuaikan pula dengan keinginan anak-anak untuk meminta perhatian bapaknya sebanyak mungkin.
Buat para Jermaners (a.k.a orang Jerman) memang kebijakan pemerintah dan tempat bekerja mereka ramah dan mengakomodir keadaan mereka yang punya anak. Bahkan mendukung mereka untuk punya anak. Tingkat kelahiran di sini masih rendah, sehingga mereka didorong untuk bereproduksi. Tapi kalau mereka sudah MAU (a.k.a Komitmen) punya anak dan ada anaknya, ibu melihat mereka sungguh-sungguh berinteraksi dan menjaga anak-anaknya dengan tangan mereka.
Kalau janji saat menikah=komitmen disaat susah-senang bersama itu diaplikasikan di kehidupan berupa hal nyata sekalipun terkesan remeh, bagaimana tak indah pernikahan kita ini jadinya kelak?